HARUSKAH AKU MENYAKITI PERASAANNYA?
“Harus dengan apa aku membayar semua kebaikan yang
telah Mas berikan padaku?” ucap Nissa padaku yang telah mengantarkannya hingga
pintu gerbang kost.
Aku tersenyum kecil dan berucap pelan padanya.
“Sudahlah, jangan terlalu Nissa pikirkan. Mas begini
tidak punya maksud apapun pada Nissa. Mas hanya ingin mengantarkan Nissa aja”
Nissa menatapku sebentar, balas tersenyum.
“Tidak mungkin Mas melakukan ini semua tanpa maksud
dalam hati Mas. Nissa yakin itu…”
“Eittt!...” potongku.
“Please…jangan tanamkan terlalu jauh dalam hati Nissa
tentang semua ini. Mas ridlo, rela pada yang telah Mas lakukan. Toh, hanya
mengantar saja. Apa yang salah?”
“Tidak,Mas! Memang tidak salah. Dan tak ada yang perlu
dipermasalahkan. Tapi terus terang, saya kok menangkap sesuatu yang janggal
pada hati saya. Saya melihat dan merasakan bahwa Mas memiliki sesuatu maksud.
Dan maksud itu yang Nissa ngga tau sampe sekarang”
Kuterdiam, mendengarkan kalimat Nissa selesai
terucapkan.
“Okey! Kalo gitu, mungkin ini adalah yang terakhir Mas
mengantar Nissa. Mas takut, semua ini malah menimbulkan kecurigaan atau bahkan
juga keresahan di hati Nissa. Maafkan semua ini…”
Akhirnya kuputuskan kalimat itu yang terucap dari
bibirku, sebagai balasan dari keresahan yang mungkin saat ini sedang berkecamuk
di hati Nissa. Nissa hanya menunduk sembari mendengar semuanya aku
tuntaskan.
“Assalamu’alaikum…”
Aku lajukan sepeda motorku meninggalkan Nissa yang
masih termangu. Dalam hatiku, kembali aku berucap lirih.
“Maafkan aku Dik Nissa. Jujur aku akui, Aku
mencintaimu sebenarnya…”
Sejak beberapa hari yang lalu aku menggoda Nissa
dengan menawarkan tumpangan saat pulang, Nissa ternyata mau juga aku antar
pulang tiap selesai jam kantor. Aku menjadi keterusan ingin mengantarnya.
Dan memang sudah sewajarnya Nissa curiga padaku. Namun
aku masih juga anggap masa bodo pada semua ini. Aku masih menganggap ini tidak
mungkin terjadi. Tak mungkin aku jatuh
cinta pada Nissa.
Ternyata perkiraanku salah. Aku telah jatuh hati pada
Nissa saat ini. Aku telah terlanjur menorehkan kata ‘cinta’ di dadaku. Kata
yang seharusnya jangan sampai terjadi. Inilah akibatnya yang aku rasakan. Aku
gelisah. Aku galau. Oh, tersiksanya batinku.
Dua hari berlalu. Aku masih saja merasakan rindu yang
tak mungkin bisa kupendam lagi. Rindu betapa aku ingin segera berjumpa dengan
Nissa. Aku menyesal telah berbohong padanya. Apalagi tentang perasaanku
padanya. Namun haruskah semua ini terjadi. Sementara aku tahu, ada hati lain
yang saat ini memenuhi ruang hatiku. Kejamnya diriku jika sampai aku
menyia-nyiakan ketulusannya selamanya. Ia yang telah mencurahkan segala cinta
yang ada, untuk diriku. Ia yang semenjak aku terpuruk telah mengangkat aku
kembali. Membangkitkan segala semangat yang sempat aku onggokkan di tong sampah
pelarianku. Haruskah aku khianati dirinya?
“Kangmas melamun?”
Ups! Suara lembut istriku itu mengagetkan lamunanku.
“Ah,enggak kok Nur…, Mas hanya merasa letih,
capek saja setelah seharian kerja di kantor. Badan rasanya pegal-pegal semuanya”
alasanku pada Nur, istriku.
“Mmh, kalo gitu…, boleh Nur pijitin badan Kangmas?”
sahut Nur sembari memegang tengkukku dan memijit pelan serta mendekatkan
badannya di belakangku. Terasakan sekali getaran kasih sayang dari tangan
lembutnya yang memijit-mijit pelan badanku.
Kembali terngiang dalam benakku sebuah pertanyaan…
“Haruskah aku menyakiti perasaannya?”
Semakin lama pijatan tangannya, kehangatan dan
ketenangan kurasakan. Namun dibalik semua itu, aku membelakangi dia dengan
kegundahan batinku. Kembali aku mengutuk kalbuku sendiri.
“Teganya aku!! Kejamnya aku!! Jika aku sampai
melakukan pengkhianatan ini….”
Tanpa ku sadari tiba-tiba aku terguguk sendiri. Aku
menangis, menelungkupkan mukaku ke lututku. Nur pun terkaget-kaget menyadari
tangisanku.
“Mas…, Mas kok menangis? Mas gak suka ya Nur pijitin?”
“Bukan itu Nur. Bukan itu yang Mas tangisi,”
“Lalu? Kenapa Mas menangis?”
Aku balikkan badanku, sekuat hatiku menatap matanya
yang teduh bagaikan embun yang tercurahkan di pagi hari. Sinar matanya yang
hangat menggelayut di wajahnya. Walaupun penuh dengan seribu tanda tanya di
raut mukanya yang tak berdosa.
“Maafkan Mas Nur…, Mas tak bisa mengatakan apa-apa
pada Nur. Mas tak bisa memberikan alas an apapun untuk saat ini pada Nur.
Maafkan Mas…”
sahutku menjawab pertanyaan Nur yang pasti masih
menyisahkan tanda tanya besar baginya. Tak puas tentunya dengan jawabanku. Tapi
aku tak bisa mengatakannya. Aku tak mau menciptakan bara di dalam rumahku
sendiri yang damai selama ini.
“Nur ngerti Mas. Nur nggak memaksa Mas untuk cerita
pada Nur kenapa Mas menangis. Kalo gitu, mendingan Mas ambil air wudlu. Terus
sholat isya’. Belum sholat isya’,kan?”
Aku mengangguk
pelan sambil menyeka butiran air mata yang masih tersisa setelah Nur hapus
dengan lentik jari-jarinya. Aku bangkit dari hadapan Nur dan beranjak menuju ke
belakang, untuk berwudlu. Dalam langkahku, aku menengok sebentar pada istriku
tercinta. Ia masih saja menatap langkah-langkahku. Berdosa sekali aku padanya.
Yaa Allah, betapa kejamnya aku pada istriku.
Betapa aku telah menyakiti perasaannya, Yaa Robb…
Aku telah membohongi ketulusannya selama ini.
Aku telah merentaskan cinta yang seharusnya hanya
tercurah padanya.
Aku berdosa…
Aku dzolimi dia…
Ampuni aku, Yaa Alloh…
Ampuni segala kekeliruan yang telah aku perbuat.
Namun aku tak mampu membendung hasrat ini pada Nissa.
Aku amat mencintai dia, saat ini. Haruskah aku juga membohongi dia. Aku
mengingkari perasaan yang saat ini sedang menaungi hatiku.
Hamba mohonkan padaMu. Jauhkan perasaan hamba dari
Nissa, Yaa Robb. Jauhkan bayang-bayang dia dari pelupuk dan hati hamba.
Amien..amien…amien…
Yaa
Robbal’alamien…
Munajatku ba’da sholat isya’. Aku masih juga terduduk
bersimpuh. Segala perasaanku, aku paksakan terucapkan padaNya. DIA, Dzat yang
lebih tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku yakin, DIA bisa memberikan jawaban
yang tepat bagi kegelisahanku.
..................................
Di kantorku. Aku masih sibuk menyelesaikan
tugas-tugasku, saat tiba-tiba bayangan Nissa melintas di depan mejaku.
“Nissa! Boleh kita bertemu sebentar nanti?”
Nissa yang tak bisa menghindar lagi dari depanku
sontak gugup.
“Mmm maaf Mas. Saya sudah ditunggu sama seseorang di luar.
Jadi kayaknya enggak bisa Mas. Maaf ya Mas. Assalamu’alaikum…” jawab Nissa
sembari secepat itu pula ia melangkah meninggalkan diriku.
Dari dalam kaca ruanganku, aku singkap sedikit tirai
penutupnya. Dan memang benar, di luar Nissa menghampiri seseorang. Dan mereka
pun berlalu meninggalkan halaman kantor. Dari balik kaca, aku bisa merasakan
mereka adalah pasangan yang serasi dan pantas.
Batinku pun berucap…
“Terima kasih Yaa Allah. Engkau telah memberikan
jawaban yang tepat pada kegelisahanku selama ini. Semoga ini bisa menjadi awal bagiku
untuk memperbaiki kekhilafanku padaMu dan juga Istriku. Terima kasih Yaa Allah”
Sesungging senyum melingkar di bibirku. Lega sekaligus
bahagia. Akhirnya Allah menyelamatkan aku dan keluargaku dari bara yang bakal
menyerang kehidupanku bersama istriku. Alhamdulillah.
Sesampainya di rumah, serta merta aku peluk istriku
dari belakang saat ia sedang sibuk menyiapkan segelas air minum buatku.
“Eit! Mas kenapa sih, tiba-tiba meluk Nur begini?”
Tanya Nur kaget. Hampir saja air yang ada ditangannya tumpah, kalau saja tidak
dengan sigap dia taruh kembali di meja.
“Emang gak boleh apa, seorang suami memeluk istri
tercintanya? Hahaha… Oh istriku tercinta…” sahutku sembari masih terus memeluk
dengan mesra istriku.
“Boleh aja sih. Cuma Nur heran aja. Semalem Mas baru
aja nangis-nangis di depan Nur. Terus dilanjutin nangis juga di atas sajadah
waktu abis sholat. Eeeh, sekarang malah sudah tersenyum kembali dan yang lebih
membahagiakan Nur, Mas tiba-tiba meluk Nur lagi…”
“Sudahlah sayangku. Yang sudah ya sudah saja. Sekarang
yang pasti Mas lagi pengen meluk istri Mas tercinta sepuas Mas. Hehehe…”
“Iiih..Mas genit dech!. Sana mandi dulu gih! Bau tuch,
baru pulang kerja!?” senyuman kecil tak hentinya menghiasi bibir istriku. Dari
pipinya terlihat semu merah jambu menghiasi wajahnya.
“Ya udah. Mas
mandi dulu ya sayang”
Bergegas aku mengambil handukku untuk mandi. Sembari
melangkahkan kakiku menuju kamar mandi, tak henti-hentinya aku ucapkan syukur
yang tak terhingga pada Allah SWT yang telah menyelamatkan semua ini.
Alhamdulillah….
0 komentar:
Posting Komentar