Sabtu, 12 April 2014

Cerpen "Haruskah Ku Sakiti perasaannya??"

Diposting oleh Unknown di 07.15


HARUSKAH AKU MENYAKITI PERASAANNYA?

“Harus dengan apa aku membayar semua kebaikan yang telah Mas berikan padaku?” ucap Nissa padaku yang telah mengantarkannya hingga pintu gerbang kost.
Aku tersenyum kecil dan berucap pelan padanya.
“Sudahlah, jangan terlalu Nissa pikirkan. Mas begini tidak punya maksud apapun pada Nissa. Mas hanya ingin mengantarkan Nissa aja”
Nissa menatapku sebentar, balas tersenyum.
“Tidak mungkin Mas melakukan ini semua tanpa maksud dalam hati Mas. Nissa yakin itu…”
“Eittt!...” potongku.
“Please…jangan tanamkan terlalu jauh dalam hati Nissa tentang semua ini. Mas ridlo, rela pada yang telah Mas lakukan. Toh, hanya mengantar saja. Apa yang salah?”
“Tidak,Mas! Memang tidak salah. Dan tak ada yang perlu dipermasalahkan. Tapi terus terang, saya kok menangkap sesuatu yang janggal pada hati saya. Saya melihat dan merasakan bahwa Mas memiliki sesuatu maksud. Dan maksud itu yang Nissa ngga tau sampe sekarang”
Kuterdiam, mendengarkan kalimat Nissa selesai terucapkan.
“Okey! Kalo gitu, mungkin ini adalah yang terakhir Mas mengantar Nissa. Mas takut, semua ini malah menimbulkan kecurigaan atau bahkan juga keresahan di hati Nissa. Maafkan semua ini…”
Akhirnya kuputuskan kalimat itu yang terucap dari bibirku, sebagai balasan dari keresahan yang mungkin saat ini sedang berkecamuk di hati Nissa. Nissa  hanya menunduk sembari mendengar semuanya aku tuntaskan.
“Assalamu’alaikum…”
Aku lajukan sepeda motorku meninggalkan Nissa yang masih termangu. Dalam hatiku, kembali aku berucap lirih.
“Maafkan aku Dik Nissa. Jujur aku akui, Aku mencintaimu sebenarnya…”
Sejak beberapa hari yang lalu aku menggoda Nissa dengan menawarkan tumpangan saat pulang, Nissa ternyata mau juga aku antar pulang tiap selesai jam kantor. Aku menjadi keterusan ingin mengantarnya.
Dan memang sudah sewajarnya Nissa curiga padaku. Namun aku masih juga anggap masa bodo pada semua ini. Aku masih menganggap ini tidak mungkin terjadi.  Tak mungkin aku jatuh cinta pada Nissa.
Ternyata perkiraanku salah. Aku telah jatuh hati pada Nissa saat ini. Aku telah terlanjur menorehkan kata ‘cinta’ di dadaku. Kata yang seharusnya jangan sampai terjadi. Inilah akibatnya yang aku rasakan. Aku gelisah. Aku galau. Oh, tersiksanya batinku.
Dua hari berlalu. Aku masih saja merasakan rindu yang tak mungkin bisa kupendam lagi. Rindu betapa aku ingin segera berjumpa dengan Nissa. Aku menyesal telah berbohong padanya. Apalagi tentang perasaanku padanya. Namun haruskah semua ini terjadi. Sementara aku tahu, ada hati lain yang saat ini memenuhi ruang hatiku. Kejamnya diriku jika sampai aku menyia-nyiakan ketulusannya selamanya. Ia yang telah mencurahkan segala cinta yang ada, untuk diriku. Ia yang semenjak aku terpuruk telah mengangkat aku kembali. Membangkitkan segala semangat yang sempat aku onggokkan di tong sampah pelarianku. Haruskah aku khianati dirinya?
“Kangmas melamun?”
Ups! Suara lembut istriku itu mengagetkan lamunanku.
“Ah,enggak kok Nur…, Mas  hanya merasa letih, capek saja setelah seharian kerja di kantor. Badan rasanya pegal-pegal semuanya” alasanku pada Nur, istriku.
“Mmh, kalo gitu…, boleh Nur pijitin badan Kangmas?” sahut Nur sembari memegang tengkukku dan memijit pelan serta mendekatkan badannya di belakangku. Terasakan sekali getaran kasih sayang dari tangan lembutnya yang memijit-mijit pelan badanku.
Kembali terngiang dalam benakku sebuah pertanyaan…
“Haruskah aku menyakiti perasaannya?”
Semakin lama pijatan tangannya, kehangatan dan ketenangan kurasakan. Namun dibalik semua itu, aku membelakangi dia dengan kegundahan batinku. Kembali aku mengutuk kalbuku sendiri.
“Teganya aku!! Kejamnya aku!! Jika aku sampai melakukan pengkhianatan ini….”
Tanpa ku sadari tiba-tiba aku terguguk sendiri. Aku menangis, menelungkupkan mukaku ke lututku. Nur pun terkaget-kaget menyadari tangisanku.
“Mas…, Mas kok menangis? Mas gak suka ya Nur pijitin?”
“Bukan itu Nur. Bukan itu yang Mas tangisi,”
“Lalu? Kenapa Mas menangis?”
Aku balikkan badanku, sekuat hatiku menatap matanya yang teduh bagaikan embun yang tercurahkan di pagi hari. Sinar matanya yang hangat menggelayut di wajahnya. Walaupun penuh dengan seribu tanda tanya di raut mukanya yang tak berdosa.
“Maafkan Mas Nur…, Mas tak bisa mengatakan apa-apa pada Nur. Mas tak bisa memberikan alas an apapun untuk saat ini pada Nur. Maafkan Mas…”
sahutku menjawab pertanyaan Nur yang pasti masih menyisahkan tanda tanya besar baginya. Tak puas tentunya dengan jawabanku. Tapi aku tak bisa mengatakannya. Aku tak mau menciptakan bara di dalam rumahku sendiri yang damai selama ini.
“Nur ngerti Mas. Nur nggak memaksa Mas untuk cerita pada Nur kenapa Mas menangis. Kalo gitu, mendingan Mas ambil air wudlu. Terus sholat isya’. Belum sholat isya’,kan?”
Aku mengangguk pelan sambil menyeka butiran air mata yang masih tersisa setelah Nur hapus dengan lentik jari-jarinya. Aku bangkit dari hadapan Nur dan beranjak menuju ke belakang, untuk berwudlu. Dalam langkahku, aku menengok sebentar pada istriku tercinta. Ia masih saja menatap langkah-langkahku. Berdosa sekali aku padanya.
Yaa Allah, betapa kejamnya aku pada istriku.
Betapa aku telah menyakiti perasaannya, Yaa Robb…
Aku telah membohongi ketulusannya selama ini.
Aku telah merentaskan cinta yang seharusnya hanya tercurah padanya.
Aku berdosa…
Aku dzolimi dia…
Ampuni aku, Yaa Alloh…
Ampuni segala kekeliruan yang telah aku perbuat.
Namun aku tak mampu membendung hasrat ini pada Nissa. Aku amat mencintai dia, saat ini. Haruskah aku juga membohongi dia. Aku mengingkari perasaan yang saat ini sedang menaungi hatiku.
Hamba mohonkan padaMu. Jauhkan perasaan hamba dari Nissa, Yaa Robb. Jauhkan bayang-bayang dia dari pelupuk dan hati hamba.
Amien..amien…amien…
Yaa Robbal’alamien…
Munajatku ba’da sholat isya’. Aku masih juga terduduk bersimpuh. Segala perasaanku, aku paksakan terucapkan padaNya. DIA, Dzat yang lebih tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku yakin, DIA bisa memberikan jawaban yang tepat bagi kegelisahanku.
..................................
Di kantorku. Aku masih sibuk menyelesaikan tugas-tugasku, saat tiba-tiba bayangan Nissa melintas di depan mejaku.
“Nissa! Boleh kita bertemu sebentar nanti?”
Nissa yang tak bisa menghindar lagi dari depanku sontak gugup.
“Mmm maaf Mas. Saya sudah ditunggu sama seseorang di luar. Jadi kayaknya enggak bisa Mas. Maaf ya Mas. Assalamu’alaikum…” jawab Nissa sembari secepat itu pula ia melangkah meninggalkan diriku.
Dari dalam kaca ruanganku, aku singkap sedikit tirai penutupnya. Dan memang benar, di luar Nissa menghampiri seseorang. Dan mereka pun berlalu meninggalkan halaman kantor. Dari balik kaca, aku bisa merasakan mereka adalah pasangan yang serasi dan pantas.
Batinku pun berucap…
“Terima kasih Yaa Allah. Engkau telah memberikan jawaban yang tepat pada kegelisahanku selama ini. Semoga ini bisa menjadi awal bagiku untuk memperbaiki kekhilafanku padaMu dan juga Istriku. Terima kasih Yaa Allah”
Sesungging senyum melingkar di bibirku. Lega sekaligus bahagia. Akhirnya Allah menyelamatkan aku dan keluargaku dari bara yang bakal menyerang kehidupanku bersama istriku. Alhamdulillah.
Sesampainya di rumah, serta merta aku peluk istriku dari belakang saat ia sedang sibuk menyiapkan segelas air minum buatku.
“Eit! Mas kenapa sih, tiba-tiba meluk Nur begini?” Tanya Nur kaget. Hampir saja air yang ada ditangannya tumpah, kalau saja tidak dengan sigap dia taruh kembali di meja.
“Emang gak boleh apa, seorang suami memeluk istri tercintanya? Hahaha… Oh istriku tercinta…” sahutku sembari masih terus memeluk dengan mesra istriku.
“Boleh aja sih. Cuma Nur heran aja. Semalem Mas baru aja nangis-nangis di depan Nur. Terus dilanjutin nangis juga di atas sajadah waktu abis sholat. Eeeh, sekarang malah sudah tersenyum kembali dan yang lebih membahagiakan Nur, Mas tiba-tiba meluk Nur lagi…”
“Sudahlah sayangku. Yang sudah ya sudah saja. Sekarang yang pasti Mas lagi pengen meluk istri Mas tercinta sepuas Mas. Hehehe…”
“Iiih..Mas genit dech!. Sana mandi dulu gih! Bau tuch, baru pulang kerja!?” senyuman kecil tak hentinya menghiasi bibir istriku. Dari pipinya terlihat semu merah jambu menghiasi wajahnya.
 “Ya udah. Mas mandi dulu ya sayang”
Bergegas aku mengambil handukku untuk mandi. Sembari melangkahkan kakiku menuju kamar mandi, tak henti-hentinya aku ucapkan syukur yang tak terhingga pada Allah SWT yang telah menyelamatkan semua ini. Alhamdulillah….

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kumpulan Puisi dan Cerpen Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting