Sabtu, 12 April 2014

Cerpen "al-Qur'an Senja"

Diposting oleh Unknown di 06.50


“Al-Qur’an Senja”

Suara lantunan al-Qur’an senja di gubuk itu sudah tidak terdengar selama tiga hari ini. Entah mengapa aku sangat rindu pada pemilik suara merdu yang bertahun-tahun melantunka ayat-ayat suci di tengah hiruk pikuk kesibukan para penduduk yang lalai dari panggilan Ilahi di waktu senja di kampung ini.
Nek Ijah, begitu biasanya kami memanggil nenek tersebut, tinggal di sebuah gubuk di sudut kampung ini. Beliau adalah seorang janda, suaminya tertembak mati saat agresi militer belanda, dan sejak saat itu wanita berusia 85 tahun ini berjuang sendiri mengarungi skenario Ilahi. Beliau yang juga seorang hafidhoh adalah sosok kartini yang mungkin masih bisa kita jumpai.
Bekerja sebagai penjual nasi pecel, beliau penuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan uang hasil usahanya itu masih sempat beliau gunakan untuk membiayai beberapa anak yatim di kampung ini, salah satunya adaah ayahku. Ya, ayahku yatim sejak kecil. Kakekku juga gugur dalam agresi militer bersama suami nek Ijah. Sedang nenekku meninggal saat meahirkan ayahku. Sejak saat itu nek Ijah mengasuh ayahku layaknya anak sendiri.
Rumahnya yang tidak berukuran besar, yakni hanya 8x8 meter itu disulap menjadi madrasah, tempat mengaji bocah-bocah di kampungku. Di rumah kecil itu, nek Ijah bukan hanya mengajari mengaji, tetapi beliau juga mengajari bocah-bocah tersebut untuk bertahan hidup. Yang perempuan diajari memasak dan menyulam, sedangkan yang laki-laki diajari berladang di sebuah ladang kecil di belakang rumah beliau.
Itulah sebabnya lima tahun yang lalu, ketika seseorang yang tinggal tak jauh dari kampung kami datang untuk menuntut tanah yang ditempati gubuk nek Ijah, seluruh penduduk kampung tergugah untuk melindungi nenek yang sudah berumur setengah abad lebih itu. Mereka merasa berhutang banyak pada nek Ijah, nenek yang menunggu panggilan Ilahi itu mengajari mereka bahwa Allah memberi apa yang mereka butuhkan, bukan apa yang mereka minta.
65 tahun hidup menjanda, tak membuat beliau putus asa menghadapi keputusan Sang Maha Kuasa. Konon cerita penduduk kampung ini, beliau pernah dilamar oleh lurah kampung kampung ini 64 tahun yang lalu. Ya, tepat setahun setelah suaminya lebih dulu mengembalikan hidupnya pada Sang Maha Kuasa. Beliau menolaknya dengan halus, satu alasan pasti mengapa beliau menolak pinangan-pinangan yang dialamatkan pada beliau, karena sampai hari ini beliau belum melihat jasad suaminya.
Kematian suaminya memang hanya sebuah kabar yang tersebar dari mulut ke telinga. Tak ada bukti nyata tempat peristirahatan suaminya. Dan inilah yang menjadi semangat hidup nek Ijah, yakni bersimpuh di maqbaroh imam yang telah dipilihkan Allah untuknya.
Gubuk nek Ijah sampai setahun ini masih ramai dikunjungi anak-anak, walaupun di kampung kami telah dibangun sebuah madrasah baru tempat mengaji. Namun gubuk nek Ijah merupakan tempat sejarah pendidikan agama pertama di kampung ini. Nenek yang kini berjalan dengang tongkat bambu kuning itu hanya bisa mendongeng pada anak-anak kecil di kampung kami. Fisiknya yang rapuh dan nafasnya yang mulai tak stabil tak mengurangi semangatnya untuk mengeksplorasi masa senjanya, dengan memberikan segala apa yang beliau punya.
Setiap kali lebaran tiba, orang-orang yang sowan ke nenek yang sudah senja itu, meluber sampai ke halaman rumah. Oleh pak RT di halaman rumah nenek didirikan tenda selama 3 hari. Bagaimana tidak ramai, kurang lebih selama 60 tahun puluhan anak dari kampung kami belajar tentang agama dan hidup pada nek Ijah. Dan gubuk kecil beliau itu telah menetaskan guru, pemuka agama, penjahit, pengusaha, bahkan pejabat pemerintah. Kebanyakan dari mereka ada yang sudah berputra bahkan ada yang memiliki cucu. Maka ketika lebaran mereka semua tumpah ruah bernostalgia dengan senja yang mengajari mereka untuk menerima apa yang telah diberikan Allah untuk mereka.
Enam bulan ini kondisi nek Ijah mulai sering terganggu. Banyak penduduk kampung yang meminta kepada nenek agar mau tinggal bersama mereka. Namun nenek lebih memilih untuk tinggal di gubuk kecilnya. Beliau tidak mau menyusahkan banyak orang. Memang setengah tahun terakhir ini nek Ijah sering sakit-sakitan dan sering keluar masuk rumah sakit. Semua biaya ditanggung oleh penduduk kampung. Beliau sempat meminta pada pak lurah agar menjualkan ladang kecil yang berada di belakang rumahnya  untuk memenuhi biaya pengobatan selama beliau sakit. Tapi pak lurah menolak permintaan beliau, pak lurah yang bapak dan ibunya dulu dibesarkan oleh nenek, merasa berhutang jasa terlalu besar kepada nenek. Sehingga pak lurah meyakinkan kepada nenek bahwa penduduk kampung melakukan semua ini ikhlas untuk nenek, karena apa yang telah diberikan nenek untuk kampung ini jauh lebih besar dari yang diberikan kampung ini untuk nenek. Mendengar apa yang diutarakan oleh pak lurah nenek yang lima belas tahun lagi menuju satu abad itu menangis , beliau bersyukur karena Allah masih sayang padanya, dan telah mengirim penduduk kampung ini menjadi penopang masa senjanya. Beliau juga mendoakan para penduduk kampung agar mendapat yang terbaik dan menjadi baik untuk kampung ini.
Tiga hari ini, setiap lewat di depan gubuk kecil itu, tak kudapati lantunan suara nenek yang walaupun sudah senja itu tapi suaranya tetap indah. Aku adalah seorang pekerja di sebuah studio di kabupatenku. Bekerja dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore selama satu minggu, demi memenuhi amanah Allah yang diembankan kepadaku, memenuhi kebutuhan keluargaku.
Empat hari yang lalu ku dengar nenek mulai susah berjalan, untuk merawat nenek, warga RT yang berdekatan dengan gubuk nenek sepakat untuk bergiliran menjaga beliau. Selama 3 hari ini waktuku tersita dan tak ada luang sedikit pun untuk menjenguk nenek.
Sepulang kerja aku harus bersiap menuju masjid kemudian mengajar di madrasah baru di kampung kami. Pulang dari surau ba’da isya’ ingin ku gunakan untuk menjenguk nek Ijah tapi dilarang oleh istriku, karena takut kedatanganku hanya akan mengganggu waktu istirahat beliau.
Suatu sore setelah tiga hari aku tak mendengar lantunan merdu itu, sepulang kerja dengan membawa bubur kesukaan nek Ijah, aku mendatangi gubuk kecil beliau. Ku ketok pintu gubuk yang mulai rapuh itu.
“Masuk saja mas, tadi nenek mau sholat ashar, saya tadi yang membantu beliau berewudlu, mas masuk saja, pintunya tidak saya kunci, dan tolong temani nenek sebentar ya, saya mau ngantar anak saya ke madrasah dulu.” Tegur seseorang yang lewat di depan rumah nek Ijah.
Ku buka pintu pelan, ku takut mengganggu aktifitas beliau, dan Subhanallah ku jumpai seorang nenek yang duduk menghadap kiblat, masih dengan mukena kesukaannya dan al-Qur’an di pelukannya. Ku peluk nek Ijah dengan erat, ku panggil-panggil namanya, namun Sang Khaliq sudah lebih dulu menjemputnya. Air mataku mengalir deras, sembari masih memeluk raga nenek yang sudah ditinggalkan ruhnya, ku berteriak minta tolong.
Hari ini tepat 3 tahun meninggalnya al-Qur’an senja kampung kami. Sejak setahun dipanggilnya nek Ijah oleh Sang Maha Kuasa, penduduk kampung sepakat untuk mengadakan tahlilan di area maqbaroh beliau, tidak lain untuk mendoakan dan memperingati hari wafatnya beliau. Oleh penduduk kampung, beliau diistirahatkan di rumah beliau, karena beliau tak pernah berwasiat akan dikemanakan tanah beliau setelah beliau wafat, dan beliau juga tak punya ahli waris. Di sebelah maqbaroh beliau, warga RT setempat membangun sebuah musholla kecil yang diberi nama musholla “al-Hijaiyah”, sesuai dengan nama beliau. Warga RT setempat membangun musholla tersebut menimbang jarak antara musholla yang dibangun dengan masjid lumayan jauh kurang lebih 500 meter.
Nama beliau dan cara beliau meninggal terdengar luas dari teling ke telinga, makam beliau pun menjadi ramai diziarahi warga kampung sekitar, bahkan ada pondok hafidz al-Qur’an di sekitar daerah kami setiap sebulan sekali berziarah ke maqbaroh beliau. Hal ini membawa berkah tersendiri bagi warga RT setempat.
Beliaulah nek Ijah yang nama lengkapnya Siti Hijaiyah, hidupnya diselimuti dengan lantunan al-Qur’an hingga raganya berbaring tanpa nafas masih diselimuti lantunan al-Qur’an. Dan lantunan al-Qur’an senja ini masih bergemuruh dari maqbaroh beliau, oleh bocah-bocah RT setempat, di tengah gemerincing lantunan dunia yang bising dan tak jelas.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kumpulan Puisi dan Cerpen Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting